
KARAWANGTIME.COM — Suasana malam di Karawang berubah tegang saat sekelompok petugas berseragam bergerak diam-diam menyisir sejumlah rumah kos di kawasan perkotaan. Operasi yang digelar Jumat malam hingga Sabtu dini hari (23–24 Mei) itu bukan sekadar razia biasa.
Di balik gerakan cepat tim gabungan Satpol PP, TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri Karawang, tersimpan keresahan masyarakat yang sudah lama membuncah, rumah kos yang disalahgunakan sebagai tempat perbuatan asusila.
Laporan-laporan warga telah mengalir selama berminggu-minggu. Beberapa kos-kosan di Karawang Timur, Karawang Barat, dan Telukjambe Timur dicurigai menjadi tempat persinggahan pasangan-pasangan gelap.
Petugas bergerak berdasarkan data, bukan spekulasi. Dan hasilnya mencengangkan: 24 pasangan bukan suami istri terjaring, diduga tengah melakukan tindakan mesum.
“Operasi ini bukan reaksi spontan. Kami menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan menegakkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum,” kata Kepala Satpol PP Karawang, Basuki Rachmat.
Namun, apakah penindakan ini cukup untuk menyelesaikan masalah yang lebih dalam?
Tim karawangtime.com menemukan pola banyak rumah kos yang longgar dalam pendataan penghuni, minim pengawasan, dan hanya fokus pada keuntungan. Beberapa bahkan diketahui tidak mencatat identitas penyewa secara resmi.
Lebih mengkhawatirkan, sejumlah kos-kosan yang dirazia pernah disebut dalam laporan serupa sebelumnya — tetapi tetap beroperasi tanpa sanksi tegas.
“Kami sudah sering lapor, tapi baru sekarang ditindak,” ujar seorang warga Karawang Timur yang meminta namanya dirahasiakan.
Dalam pemeriksaan awal, ke-24 pasangan tersebut tidak dapat menunjukkan bukti sah pernikahan. Mereka digelandang ke kantor Satpol PP Karawang di Jalan Raya Ahmad Yani, dimintai keterangan, dan diminta menandatangani surat pernyataan pembinaan.
Basuki mengimbau para pemilik kos untuk lebih selektif menerima penyewa. Namun, pertanyaannya lebih besar: sampai kapan aturan hanya ditegakkan saat tekanan publik menguat?
Di tengah geliat urbanisasi dan maraknya migrasi pendatang ke Karawang, kebutuhan akan hunian sementara meningkat, dan di situlah celah hukum dan moral sering kali bertemu tanpa pengawasan. (Aep)